Menuju Ilmu Sosial Ulayat Asia

Oleh Ronggolawe Ireng

Judul | Alternative Discourses in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism
Penulis | Syed Farid Alatas
Penerbit | SAGE Publications
Tahun terbit | 10 Mei 2006
Tebal halaman | 228
ISBN | 9780761934400


Dapatkah para sarjana ilmu sosial di Asia mengembangkan ilmu yang mengacu pada tabiat Asia? Syed Farid Alatas menjawab iya. Lantas, untuk apakah para sarjana ilmu sosial di Asia memerlukan ilmu sosial yang berwatak ulayat Asia? Menurut Alatas, dengan mengulayatkan ilmu sosial Asia maka permasalahan yang dihadapi ilmu sosial di Asia akan mengenali konteks dan tabiat masalah secara padu dan khas, di samping menyodorkan jawaban yang benar-benar Asia, atau truly Asia jika dalam bahasa iklan.


Bagi orang yang pernah mengenyam pelajaran ilmu sosial mulai dari sosiologi sampai antropologi di universitas di Indonesia, cobalah diingat apakah kitab daras yang digunakan itu ditulis oleh ilmuwan Indonesia? Kemudian, materi ajar itu ketika diterapkan untuk memblejeti masalah sosial di Indonesia apakah menemukan masalah khas Indonesia? Secara umum, buku daras sosial yang digunakan di Indonesia ditulis oleh sarjana sosial dari Amerika dan Eropa. Amerika dan Eropa adalah hal lain jika disanding dengan Indonesia. Masalah masyarakat yang didedelkan pun berbeda. Tidak usah jauh-jauh, kata culture dalam ikatan epistemik (epistemic community) Amerika dan Eropa sangat berbeda sekali dengan cultureCulture selalu dikaitkan dengan hal kebendaan. Ketika kebendaan itu dipahami sebagai suatu ejawantah dari pandangan-dunia tertentu, tetap saja pandangan-dunia tersebut dikuantifikasikan, atau paling tidak dicari alasan materialnya, seperti yang dilakukan kalangan sarjana materialisme kultural. Oleh karena itu, pemadanan kata culture dengan budaya jelas banyak hal yang tereduksi. Di dalam budaya, terdapat unsur budi, sesuatu yang tidak material. Dalam konsep culture, unsur budi nyaris tidak dilihat sebagai variabel utama dan dilihat sebagaimana adanya. di Indonesia.

Contoh lain bisa diambil di sini, yaitu religion. Tidak seperti yang diduga orang banyak selama ini, kata religion tidaklah senetral yang dikira. Kata religion dibangun di dalam ikatan epistemik Eropa, sementara agama lahir dari ikatan epistemik Hindu. Coba telisik sejenak definisi atas sesuatu yang kita sebut agama itu.  "Durkheim (1858-1917): “[Sebuah] sistem kepercayaan dan amalan terpadu yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, artinya, hal-hal yang dipisahkan dan dilarang—kepercayaan dan amalan yang berpadu menjadi satu komunitas moral tunggal yang disebut Gereja oleh semua penganutnya”. Oxford English Dictionary: “tindakan atau perilaku yang menunjukkan kepercayaan pada, penghormatan terhadap, dan keinginan untuk menyenangkan penguasa ilahiah, pengamalan, atau praktik upacara, atau tindakan-tindakan yang menyiratkan hal ini … sistem peribadatan iman tertentu”. Lord Ahmad: “suatu sistem kepercayaan dan amalan yang berpusat di sekitar penyembahan Tuhan yang diturunkan secara keseluruhan atau sebagian dari sebuah kitab yang diwahyukan Tuhan kepada salah seorang utusannya”. 

Nah, bagaimana agama yang tidak memiliki kitab suci? Atau, apakah konsep kitab suci itu sama di setiap agama? Barangkali itulah alasan mengapa Universitas Sanata Darma membuka program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) bukan Ilmu Agama dan Budaya (IAB).

Ilmu pengetahuan sosial di Asia, sebagaimana kebanyakan disiplin lainnya, diperkenalkan oleh Barat. Tidak sedikit yang melihat bahwa ilmu yang dikembangkan di Barat itu absah sebagai sumber inspirasi, afirmasi, dan legitimasi. Alatas dengan telaten berbalah soal itu. Alatas membuat senarai soal kebergantungan sarjana sosial Asia pada sarjana sosial Eropa dan Amerika, yang terentang dari soal penentuan tema penelitian sampai biaya serta keinginan sarjana sosial Asia untuk diundang oleh universitas Eropa dan Amerika untuk bekerja meneliti di sana.

Syed Farid Alatas mendokumentasikan beragam kritik terhadap keadaan ilmu pengetahuan sosial di Asia, dan secara kritis menilai postulat-postulat untuk diskursus alternatif yang bermunculan dari kritik-kritik tersebut. Kritik yang dilontarkan menyentuh isu-isu seputar Orientalisme, Eurosentrisme, pikiran yang terbelenggu (the captive mind, gagasan yang dicetuskan oleh ayahnya, Syed Husein Alatas ), imperialisme akademis, dan kebergantungan akademis. Syed Farid Alatas menyerukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sosial ulayat dan menyodorkan diskursus-diskursus alternatif untuk pengetahuan yang terdekolonisasi dalam konteks Asia.

Salah satu kekurangan buku ini ialah, jika ia bisa disebut sebagai kekuarangan, Syed Farid Alatas agak tanggung memosisikan peran kekuasaan negara, juga ditambah soal perusahaan multinasional, terhadap ranah ilmu pengetahuan. Tentu, Alatas banyak menyinggung soal relasi kekuasaan dan pengetahuan, misalnya kolonialisme. Tetapi, bahasannya tanggung lantaran negara, juga perusahaan multinasional, diposisikan sebagai suatu hal yang diterima. Jadi, kritiknya masih bersifat bagaimana lepas dari kekuasaan tersebut. Akan lebih menarik jika Alatas melihat dinamika ilmu pengetahuan secara kontra terhadap negara. Jika perkembangan ilmu pengetahuan bertentangan dengan kekuasaan negara, alih-alih ia tidak hanya mencari jalan keluar dari kuasa tersebut, tetapi bisakah ilmu pengetahuan melawan kekuasaan negara jika negara masih keras kepala mengatur tumbuh kembang dunia ilmu pengetahuan.
* * *

Di Indonesia, soal ulayatisasi (indigenization) ilmu sosial sudah lama digelar. Tetapi, perkembangannya tidak terlalu menggembirakan. Sebut saja nama seperti Ignas Kleden, Darmanto Jatman yang mengusung psikologi Jawa, ilmuwan psikologi UI yang mengusung psikologi ulayat, peneliti di Hikmah Perennial Institute yeng mengembangkan antropologi adat dan naturalisasi diskursus serta kajian agama ulayat, Mulyadhi Kartanegera yang mengusung naturalisasi sains mengikuti jejak George Saliba, dan beberapa nama lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.