MEMPERTANYAKAN SAHABAT NABI

Oleh Ronggolawe Ireng

Judul | The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Islamic History and Civilization: Studies and Texts Series, Vol. 47)
Penulis | Fu’ad Jabali
Penerbit | Brill, Belanda
Tahun terbit | 2003
Tebal halaman | xvi + 522
ISBN | 90 04 12923 5
ISSN | 0929-2403


Sahabat, baik sebagai konsep dan pribadi, pada dasarnya merupakan rekaman hidup atas dinamika dan perkembangan Islam pada masa awal. Sahabat jika kita lihat sebagai agen sosial yang saling berinteraksi pada suatu sistem, dalam hal ini komunitas Islam awal, akan menjadi suatu hal paling menarik. Lantaran dengan pemodelan pembacaan seperti itu, Sahabat akan menjadi unit informasi kultural. Dengan demikian, interaksi Sahabat pada tingkat mikro bisa diartikan sebagai dinamika unit informasi kultural yang membrojolkan pada tingkat makro sesuatu yang disebut sebagai [ke]Islam[an] awal.
 


Islam pada masa sekarang, yang berjarak selama 1400 tahun dari Islam awal itu, tentu saja mengalami perkembangan dan penyempitan. Untuk melihat evolusi Islam semacam itu kita bisa bertolak dari Sahabat. Sebagai penerima pertama soal Islam dari tangan Nabi Muhammad Saw., pengkajian Sahabat untuk memahami Islam tidak hanya penting, tetapi tidak akan pernah tuntas. Setelah kematian Nabi, Sahabat menjadi agen utama dalam persebaran Islam. Itulah mengapa Sahabat secara demografis terpencar-pencar.

Sebagian Sahabat ada yang tetap menetap di Makkah dan Madinah, sisanya menyebar ke Damaskus, Kufah, Basrah, Palestina, Suriah (Syam), Mesir, dll. Setiap Sahabat di daerah tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pewarta Islam, tetapi juga tempat bertanya soal Islam. Permasalahannya adalah, jika Para Sahabat itu memiliki penafsiran dan pemahaman akan Islam yang berbeda satu sama lain, lantas apakah itu memungkinkan tercipta corak keislaman berdasarkan demografis? Selain itu, apa motif Sahabat untuk tinggal pada suatu wilayah tertentu? Apakah sekadar kebutuhan dakwah, dalam arti keputusan Sahabat untuk menghuni suatu wilayah ditentukan pada ada atau tidak Sahabat yang menyebarkan Islam pada wilayah itu? Jika ada, apakah banyak atau tidak? Jika banyak, apakah Sahabat akan mencari wilayah lain atau tetap memutuskan pergi ke wilayah itu? Atau keputusan bermukin itu juga terdapat unsur ikatan politis di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi semangat utama bagi Fu’ad Jabali untuk menuliskan disertasi, yang kelak diterbitkan menjadi buku ini.

Meski buku mengenai Sahabat begitu berlimpah, Jabali menegaskan bahwa sejauh ini persoalan sebaran demografis dan ikatan politis Sahabat jarang didedah secara mendalam. Jabali dengan telaten dan penuh kesabaran menggali data dari pelbagai kitab-kitab klasik Islam dan kamus biografis yang berjilid-jilid, bahkan ada yang sampai belasan jilid untuk satu judul kitab, serta meninjau ulang penelitian yang ada mengenai Sahabat yang dilakukan kalangan ilmuwan Barat maupun ilmuwan Muslim kontemporer.

Salah satu hal terpenting yang luput dibahas dalam karya mengenai Sahabat ialah soal Perang Shiffīn dan Perang Unta. Dua perang itulah yang ikut membentuk dikotomi Sunni-Syi‘ah seperti yang dikenal sekarang. Pengabaian akan dua perang itu jelas bakal menghadirkan Sahabat secara khusus dan Islam secara umum tidak utuh dan padu. Jabali dengan gemilang menganalisis kedua perang itu. Hasilnya, sebaran demografis Sahabat terkait erat dengan aliansi politis. Sahabat yang bermukin di Damaskus lebih politis dibanding dengan Sahabat yang tinggal di daerah lain, seperti Basrah, Madinah, dan Kufah. Sebagai misal, Mu‘āwiyah ibn Abī Sufyān yang dari Damaskus itu muncul ke permukaan menentang Khalifah ‘Alī ibn Abī Thālib, dan mendirikan Dinasti Islam pertama.

Lantaran Sahabat sebagai agen utama dakwah Islam selepas Nabi wafat, maka sebaran demografis beriringan dengan persebaran hadis. Di sini bisa diajukan pertanyaan: apakah Sahabat di Damaskus hanya menyebarkan hadis-hadis yang mengandung dimensi politis? Sementara itu, hadis yang tersebar di wilayah lain bicara soal melulu keimanan dan amal saleh? Meksi Jabali tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan tersebut, tersirat simpulan yang ditarik olehnya mengafirmasikan soal tersebut. Itu lantaran Sahabat secara sosial memikul sebagai sumber keislaman. Dengan demikian, mau tidak mau setiap langkah Sahabat diupayakan memiliki sandaran pada ajaran Nabi. Atau paling tidak, para pengikut Sahabat (tābi‘in) melihat Sahabat dengan cara seperti itu. Ketika Sahabat bersikap politis, Sahabat akan berupaya menggali kearifan yang ditinggalkan oleh Nabi, yakni hadis.
* * *

Barangkali saking luasnya cakupan yang dibahas buku ini, banyak hal yang diulas Jabali menjadi serbatanggung. Misalnya, soal pola isi sebaran hadis berdasar wilayah itu, juga soal jumlah Sahabat, dan rambangnya korelasi dan kohesi pertikaian ahli hadis terhadap Mu‘tazilah terkait soal jumlah Sahabat dan hadis, serta sikap Jabali yang hendak menelusuri autentisitas Islam melalui hadis. Seperti sebaran demografis yang menjadi salah satu dari dua perhatian utama buku ini, penelitian Jabali pun menjadi tidak fokus, tersebar di mana-mana yang serbatanggung itu. Tetapi, salah satu kelebihan buku ini ialah Jabali berhasil menuntaskan dengan baik soal definisi Sahabat yang mengalami pengembangan dan penyempitan serta perselisihan dalam pengisbatan definisi itu. Itu suatu hasil yang tidak bisa disepelekan. Terlepas dari kekurangan itu, Jabali dengan murah hati melampirkan data mentah penelitiannya dalam bentuk tabel sebanyak 314 halaman (60 % dari jumlah total halaman buku) . Data mentah itu jelas akan sangat membantu peneliti lain untuk meneruskan atau menyelesaikan masalah yang belum diteliti oleh Jabali.




Catatan:
Buku ini aslinya merupakan disertasi Fu'ad Jabali di Universitas McGill. Sekarang, Fu'ad Jabali mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bagi Anda yang berminat membaca naskah awal dari buku ini, sila unduh disertasi itu di sini.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.