PERTEMUAN TAO DAN ISLAM

oleh Ronggolawe Ireng

Judul | Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts
Penulis | Toshihiko Izutsu
Penerbit | University of California Press
Tahun terbit | 1984 (edisi kedua)
Tebal halaman | 493
ISBN | 0-520-05264-1


Jantung agama adalah Kebenaran. Meski ada banyak agama berbeda, Kebenaran yang dibicarakan atau yang dituju dari masing-masing agama yang ada tetaplah Kebenaran yang itu-itu juga. Perbedaannya terletak pada bagaimana Dia dibicarakan dan dicapai. Keterbedaan itu seturut dengan raut jiwa manusia. Ada yang harus digembleng keras dengan hukum, ada yang harus diberi kasih tanpa henti, ada yang harus dihadapi dengan cara imbang, kadang keras, kadang lunak, ada yang harus dibebaskan sampai dia paham sendiri akan tujuan dan tindakannya, ada yang harus diberi simbol-simbol agar paham, ada yang harus diajak untuk kontemplasi, dan sebagainya. Betapapun, semuanya bertemu pada titik Kebenaran.


Meski setiap agama memiliki kesamaan sekaligus keterbedaan, upaya untuk membandingkan Tao dengan Islam tentu tidak semudah yang dikira. Toshihiko Izutsu dalam buku ini menjajakinya melalui pemikiran mistik dari Ibn ‘Arabī yang mewakili tradisi Islam dan Lao-tzŭ dan Chuang-tzŭ yang mewakili tradisi Tao. Dari ketiga tokoh itu, ditelusuri konsep-konsep filosofis kunci mereka yang dianggap bisa dipertanggungjawabkan dalam melakukan telaah perbandingan. Dari selaksa konsep yang ditelaah, paling tidak ada empat konsep utama yang menjadi pokok pijakan Izutsu untuk memungkinkan telaah perbandingan ini menjadi mungkin, yakni Wujud Ultim, Diri, Manusia, dan Esensi & Eksistensi.

Menurut Ibn ‘Arabī, Wujud Mutlak memiliki tingkatan atau gradasi. Dalam tradisi Akbarian itu disebut al-hadhrat al-khamsah atau Lima Hadirat Ilahi. Pada Hadirat itulah Wujud Mutlak menjelmakan Dirinya. Hadirat Pertama merupakan Absolutnya Absolut, ghayb al-ghuyub. Hadirat Pertama inilah yang sejajar dengan Tao dalam tradisi Tao. Dalam Tao Té Ching disebutkan bahwa Tao yang disebut bukanlah Tao sebenarnya. Dengan kata lain, pada tingkat ini, Wujud Mutlak bersifat nonemanatif dan nonkategoris.

Sementara itu, emanasi dari Absolutnya Absolut atau Tao itu, dalam kedua tradisi tersebut, sama-sama menegaskan selaksa kualitas dari nama Wujud. Emanasi bukan malah mengaburkan antara yang Relatif dan absolut, melainkan mengisbatkan pembedanya. Nama-nama adalah petunjuk dari Wujud Mutlak/Tao. Melalui nama-nama itulah manusia tidak hanya dapat mengenali diri atau egonya sendiri, tetapi mampu mengenali di balik hakikat dari ego/diri.

Manusia universal dalam kedua tradisi tersebut adalah manusia yang menjadi cermin pantulan nama-nama Sang Wujud. Pengenalan ego bertujuan untuk mentransformasikan ego-alam-bawah manusia menuju ego-alam-atas. Dalam tradisi sufistik Akbarian hal itu dicapai melalui penyingkapan, dalam tradisi Tao hal itu dicapai melalui duduk-dalam-perikelupaan.
* * *

Buku ini merupakan contoh capaian gemilang dalam telaah perbandingan dua tradisi agama berdasarkan metahistoris. Meski seseorang tidak sepenuhnya setuju dengan uraian Izutsu, paling tidak orang tidak akan menafikan kontribusi buku ini dalam konteks bagaimana telaah perbandingan agama itu dilakukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.