Mempreteli Dunia Modern a la Shadrian dan Whitehedian


Oleh Ronggolawe Ireng
Judul | Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead
Penulis | Husain Heriyanto
Penerbit | Teraju, Jakarta
Tebal Halaman | 251

Jika Anda melihat peradaban modern dengan segala patologisnya, lantas Anda mempertanyakan mengapa hal-hal tersebut tidak memiliki preseden historis serupa pada masa sebelumnya, hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah melacak pandangan dunia yang melambari modernitas.

Pandangan dunia merupakan suatu hal penting sekaligus disepelekan para analisis ketika mengkritik kehidupan pada masa sekarang. Penyepelean tersebut hampir bisa dipastikan berhulu pada sikap afirmatif bahwa pandangan dunia beserta elemennya, seperti sains, filsafat, dan tradisi metafisik, bersifat netral. Pada kenyataannya pandangan dunia tidaklah netral. Bahkan tindak komunikasi yang Anda gunakan memuat pelbagai asumsi filosofis. Misalnya, bagi suku pedalaman di Indonesia, kehidupan itu disebut maju jika manusia dapat menyelaraskan dirinya dengan alam semesta. Di belahan dunia lain, malah sebaliknya, manusia dikatakan maju jika berhasil menguasai alam semesta.
Husain Heriyanto menegaskan bahwa dunia modern dibangun di atas pandangan dunia yang serbareduktif, mekanistik, instrumentalistik, mekanisitik, dualistik, linearlistik, dan atomistik. Kesemua sifat itu berpangkal pada filsafat yang dibangun oleh Rene Descartes dan Newton. Oleh karena itu, Heriyanto menyebut pandangan dunia modern sebagai Cartesian-Newtonian, kadang dia tambahkan dengan Baconian.
Menurut Husain Heriyanto, mengikuti jejak Capra, R.D. Laing, dan Bergman, dunia modern adalah soal keterpilahan dan keterbelahan. Dunia modern sekaligus manusianya merupakan pengejawantahan paripurna reifikasi. Segala sesuatu menurut modernisme adalah hal lain, asing, objek terpisah dari subjek. Alam hanya entitas tak berkesadaran, yang maknanya dibangun oleh manusia, sebagai subjek pengetahu. Heriyanto membantah hal tersebut dengan menggunakan capaian-capaian sains mutakhir, seperti mekanika-kuantum. Di ujung, dia menganalisis semua capaian mutakhir itu dengan filsafat proses Whitehead. Di tangan Whitehead, alam semesta merupakan sesuatu yang berkesadaran, selain bahwa realitas itu pada dasarnya adalah proses.
Sementara itu, dengan menggunakan filsafat Shadrian, dia menyoroti realitas secara berjenjang, gradasi wujud. Kejahilan akan jenjang akan realitas itulah yang menurut Heriyanto menjadikan dunia modern menjadi serbareduktif. Di sinilah Heriyanto masuk dengan mengusung paradigma holisitik, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Armahedi Mazhar, yaitu integralisme. Bedanya, Mazhar menolak bahwa jenjang realitas itu sebenarnya satu, dalam arti, suatu entitas material dalam perjalanannya mampu bertransformasi menjadi entitas nonmaterial. Hal itu ditolak oleh Mazhar. Heriyanto tanpa ragu merayakan hal tersebut. Di sinilah letak kegemilangan Heriyanto dibanding dengan Mazhar.
Betapapun, masalah vital dari buku ini ialah Heriyanto ikut terjebak pada generalisasi yang hendak dicoba dilampauinya. Menganggap bahwa pandangan dunia modern melulu Cartesian-Newtonian-Baconian tentu saja menafikan keragaman modernitas itu sendiri. seperti yang dikatakan Habermas bahwa modernitas itu belumlah selesai. Terlepas dari itu, buku ini merupakan salah satu buku terbaik dalam disiplinnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Buku ini aslinya merupakan karya tesis, S2, Husain Heriyanto di jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu dan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, dengan judul Filsafat holisme-ekologis: Salah satu paradigma post-positivisme. Untuk mengunduh versi tesis naskah ini, silakan kunjungi perpustakaan digital UI dengan mengklik di sini.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.