MEMBELA AGAMA ADAT


Oleh Hardiansyah Suteja

The land doesn't belong to any individual:
it belongs to the dead, the living, and those not yet born.
You have the land only for a short time,
to use it and to leave it. The land belongs to all of us.
--Ole Simel, Maasai

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah
pandangan yang sehat dan kearah ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
(Penjelasan Perpres UU No. I/PNPS/1965)

Masyarakat adat merupakan prototipe komunalitas manusia. Mengabaikannya sama saja menjadikan manusia ahistoris. Upaya-upaya untuk memperadabkan masyarakat adat merupakan kepongahan luar biasa. Kita, yang mengklaim sebagai masyarakat modern nan beradab itu, telah lupa bahwa kebijaksanaan tidak diukur sekadar melalui artefak material. Dalam masyarakat Tradisional, seperti masyarakat adat—terlepas etimologis kata adat itu sendiri yang khas Islam Melayu—di Indonesia, tidaklah dikenal pembagian masyarakat berdasar pada beradab dan tidak beradab (liar). Pembagian seperti itu jelas suatu hal baru, beriringan dengan pemapanan modernisasi. Dalam masyarakat adat, satu-satunya pembagian yang dikenal adalah soal prinsip metafisik, yang terejawantahkan dalam banyak sikap hidup, seperti berhuni pada suatu tanah, pengetahuan, relasi sosial, seni, dan lainnya. Dalam masyarakat modern, suatu masyarakat akan disebut maju jika menghasilkan artefak material yang kompleks.

Civilization, yang dipadankan sebagai peradaban, bermula ketika manusia pemburu-peramu yang nomadik itu mulai menerapkan gaya hidup menetap dan mendomestifikasi sumber makanan dan binatang—menurut John Zerzan, pada masa itulah, zaman neolitikum, muncul pembagian kerja berdasarkan gender untuk pertama kalinya. Sebelum kolonialisasi dirayakan oleh masyarakat Eropa, masyarakat seperti masyarakat adat dan nomadik tidaklah disebut sebagai uncivilized (tidak beradab). Meski suatu masyarakat tidaklah banyak menghasilkan artefak canggih—walaupun pada kenyataannya belakangan banyak artefak tradisional dirayakan sebagai capaian estetik yang tinggi, tetap saja masih dilihat sekadar sebagai sesuatu yang eksotis—ia tidak serta merta dianggap sebagai masyarakat yang tidak maju. Kita nyaris tidak menemukan pandangan dari masyarakat adat yang menekankan bahwa kemajuan suatu masyarakat ditentukan dengan capaian materialnya. Meski masyarakat adat menghasilkan artefak baik itu canggih atau tidak, capaian tersebut selalu dilihat dalam kerangka simbol. Artefak material, sebagaimana seni itu sendiri, adalah soal bentuk. Bentuk pada dirinya sendiri bukanlah substantif, melainkan apa yang hendak dicapai atau diseberangi dari bentuk itulah hal yang substantif. Dengan demikian, bentuk menyampaikan makna subtil: suatu tindak komunikasi dan penyatuan terhadap Yang Ultim. Di dalam artefak memuat kandungan kognitif pembuatnya baik itu mewakili pandangan-dunia individu maupun kolektif. Hasil interaksi dari setiap agen sosial dalam masyarakat adat itulah yang membrojolkan (emerge) artefak. Jika kita mengasosiasikan bahwa masyarakat adat memiliki dimensi kognitif tidak kompleks dan karena itu disebut uncivilized, itu jelas salah besar. Pemborojolan adalah suatu hal kompleks dan tidak bisa dilihat hanya dengan cara memusatkan perhatian pada elemen pembentuknya, tetapi harus dilihat dengan menyeluruh: keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Mandelbrot yang mengenalkan konsep matematika fraktal itu pada abad 20, pada kenyataannya kita bisa menemukan dimensi fraktalitas secara berlimpah dalam artefak masyarakat adat, misalnya batik, seni ukir, dan kaligrafi. Itu menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas dalam suatu sistem kognitif masyarakat. Penyematan masyarakat adat sebagai tidak maju dan harus diperadabkan supaya maju, tentu gegabah.

Di dalam pemikiran masyarakat adat, cabang-cabang ilmu seperti yang kita kenal sekarang seperti kosmologi, filsafat, politik, sosiologi, antropologi, pada kenyataannya bisa ditemukan di dalamnya. Meski pemikiran masyarakat adat itu tidaklah analitik, itu tidak berarti pemikiran masyarakat adat tidak maju. Pengetahuan atau pemikiran masyarakat adat bersifat sintesis dan simbolik. Simbol atau perlambang adalah sesuatu yang sudah nyaris hilang dalam masyarakat yang menganggap bahwa kebenaran itu harus rasional. Ketika kita membaca atau mempelajari pemikiran kalangan adat dan lalu tidak memahaminya, sontak saja kita menyebutnya sebagai hal irasional dan mitik. Sesuatu yang tidak serta merta dipahami rasio atau akal seperti metafisik, spiritualitas, mitologi, bukan berarti itu sesuatu yang irasional, melaikan suprarasional.

Lantaran kita terlalu merayakan rasionalitas, kita sampai tidak mampu melihat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 itu ikut menafikan kemurnian eksistensi masyarakat adat, terutama soal agama adat. Bahkan kita benar-benar jahil sehingga kita tidak menyadari kesalahan kita dalam memahami agama adat. Kita melihat agama adat dengan kerangka pikir yang berbeda. Padahal, kata a gama, religion, al-dīn, tidaklah senetral yang kita kira. Masing-masing dari kata itu mencerminkan kebudayaan tertentu, seperti Hindu, Kristiani, dan Islam. Kita telah berlaku Procrustean dalam memaknai agama adat: memotong-motong agama adat agar sesuai dengan kerangka pandangan kita. Agama adat tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya, bahkan kita malah menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dibina.

Agama adat pada kenyataannya tidak kalah absah dengan agama lain seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Yahudi, Kristiani, dan Islam. Salah satu hal utama yang sering luput oleh penglihatan kita ketika membicarakan agama ialah posisi Yang Ultim atau Kebenaran (dengan K bukan k) secara prioritasSemua agama berporos pada Yang Ultim. Agama bisa disebut sebagai agama jika ajarannya mengantarkan pada pengenalan Yang Ultim. Yang Ultim itu dikenal dengan berbagai nama, Brahma, Lawalangi, Sang Hyang, al-Haqq, Tao, Godhead. Seperti yang dikemukakan banyak guru spiritual seperti Ibn ‘Arabī, Meister Eckhart, Adi Śaņkara, Jalāl al-Dīn Rūmī, Frithjof Schuon, bahwa terdapat banyak jalan menuju Yang Ultim. Banyak jalan itu sebanyak manifestasi Yang Ultim. Semua selain Yang Ultim adalah lokus manifestasi. Multiplisitas dalam tradisi spiritual dianggap sebagai pantulan, sesuatu yang eksistensialitas ontologisnya bergantung pada Yang Esa. Kita lengah, panteisme, bahkan monoteisme itu sendiri, bukanlah sistem ketuhanan atau sistem keagamaan, melainkan sistem filsafat. Lebih tepat jika kita menyebut cara pandang suatu agama mengenai Yang Ultim itu sebagai monorealisme. Kita selalu mengasosiasikan politeisme pada agama adat. Barangkali kita benar. Tetapi, politeisme itu tidak berarti tidak mengesakan Yang Ultim. Pada kenyataannya, ini soal pusat perhatian. Nama banyak dewa dalam suatu agama adat yang khas sejajar dengan asma al-husnah dalam Islam yang diklaim monoteisme paripurna itu. Dalam Islam, yang menjadi pusat perhatian bukanlah nama-nama tersebut, melainkan nama pengumpulnya atau nama yang menyatukan, ism al-‘azhām, yaitu Allāh. Sedangkan pada agama adat tertentu pusat perhatiannya adalah nama-nama partikular dari nama pengumpul itu.

Pada tataran transendensi semua agama bersifat universal, tidak ada perbedaan yang saling mengeksklusikan. Eksklusivitas dalam agama terjadi dalam tataran bentuk. Pada tataran bentuk itulah kita mengenal nama-nama agama yang berbeda satu sama lain. Serupa dengan hal itu, Kebenaran yang dipromosikan setiap agama bersifat absolut hanya pada tataran transendental, sementara pada tataran bentuk Kebenaran bersifat relatif. Tetapi, lantaran Kebenaran itu berasal dari Yang Ultim, maka Kebenaran yang disodorkan dalam tataran bentuk dari agama itu menjadi Absolut-Relatif. Kita bisa melihat hal yang relatif itu tetap berakar tunjang pada Yang Ultim. Eksklusivitas Kebenaran dalam bentuk agama tidak serta merta menjadikan Kebenaran yang ditawarkan agama-agama yang berbeda itu saling membatalkan. Bentuk pada hakikatnya memang membatasi, tetapi batasan itu berlaku hanya dalam kerangkanya sendiri.

Kita berbuat zalim ketika memaksa para pemeluk agama adat yang di Indonesia disebut sebagai agama lokal, aliran kepercayaan, aliran kebatinan, untuk berpindah memeluk agama yang diakui di Indonesia. Bahkan, kita bisa mengatakan dengan tegas bahwa negara turut bertanggung jawab atas peminggiran, untuk tidak mengatakan pemusnahan, masyarakat adat. Ironisnya, meski sesuatu yang disebut adat itu sekarang menjadi sesuatu yang seksi untuk dikomodifikasikan, eksistensi pandangan-dunia adat yang termanifestasikan pada banyak dimensi itu malah tidak diakui dengan kehadiran undang-undang tersebut.

Seperti cermin, kita menolak pantulan diri kita ketika melihat masyarakat adat. Kita tidak mau mengakui kebersahajaan diri kita. Kita menganggap mereka sebagai infantil, tanpa pernah berpikir bahwa semakin kita menjauhkan diri dari masyarakat adat, semakin jauh pula kita dari yang asali. 


sumber dari sini.

1 komentar:

Mobile App Development Delhi mengatakan...

These tips proved very useful for me and for this, I really want to mention thanks for sharing it with us.

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.