Psikologi Agama: Pengalaman Jumpa dengan Tuhan

Oleh Ronggolawe Ireng

Judul | Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia
Judul Asli | The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature
Penulis | William James
Penerjemah | A. Gunawan Admiranto
Penerbit | Mizan Pustaka, Bandung
Tebal halaman | 756
ISBN | 979433352

Secara mainstream modus sekaligus metode pengetahuan yang diakui hanyalah scientific method. Di luar itu, ia hanyalah knowledge. Knowledge bisa diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai belaka pendapat, pengetahuan, dan opini. Terlepas dari kekisruhan istilah, paling tidak secara epistemologis dikenal bentuk pengetahuan ilmiah dan nonilmiah dalam ranah ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, lantas, apakah suatu hasil penelitian dan/atau telaah agama bisa disebut sebagai suatu hal ilmiah? Jika tidak, apakah ia masih bisa diterima sebagai suatu hal absah?
Secara umum, ilmu pengetahuan ilmiah hanya dimonopoli oleh sains, bahkan filsafat bagi sebagian saintis dianggap sebagai melulu spekulasi atau kegenitan berpikir. Suatu pengetahuan dianggap absah bukan hanya sekadar rasional-logis, melainkan juga dapat diindra dan terukur. Dalam pengertian seperti itu, agama jelas pengetahuannya tidaklah absah.
William James secara pioner menggugat pandangan saintifik tersebut. Dalam buku ini, William James mencatat dan melaporkan pengalaman-pengalaman mistis setiap orang yang berbeda dari beragam tradisi, waktu, dan tempat. Dari penelusurannya itu, dia menarik suatu tali simpul bahwa modus pengetahuan orang-orang tersebut memiliki kesejalanan, yaitu: 1) tak teperikan (ineffability); 2) kualitas noetik; 3) transiensi; dan 4) pasivitas.
Berdasar pada keuniversalan pengalaman keberagamaan, atau pengalaman mistis akan perjumpaan dengan Tuhan, itulah James mendedahkan bahwa pengalaman mistis juga suatu modus pengetahuan absah di samping scientific method. Pengetahuan secara tradisional juga berarti mencicipi atau merasa. Oleh karena itu, mengetahui adalah mengalami. Pengetahuan mistis dan pengalaman mistis merupakan hal serupa. Meski pengetahuan dan pengalaman mistis merupakan suatu peristiwa yang terjadi secara pribadi, ia tidak berarti tidak bisa diverifikasi. Persis di situlah letak kegalatan scientific method menilai keabsahan pengetahuan dan pengalaman mistis.
Studi James ini akan menjadi lebih menarik jika kita tempatkan secara historis. Dalam sejarah epistemologis, metode yang disebut sekarang sebagai ilmiah itu barulah berlangsung sekitar 5 abad. Jutaan tahun sebelum formulasi saintifik dibakukan menjadi seragam dan tunggal, pengetahuan manusia bersifat mistis dalam pelbagai bentuknya. Ia berjalan secara variatif, tidak monolitik seperti sekarang. Menggunakan garis waktu historis, metode ilmiah secara historis barulah berlangsung selama 1%, sisanya, 99%, adalah pengetahuan yang sekarang disebut nonrasional. Penyematan nonrasional pada pengetahuan mistis pada kenyataannya merupakan kegagalan dalam melihat secara holistik perihal rasional atau discursive method. Pengalaman mistis bukan tidak rasional atau tidak diskursif,  melainkan berjenjang.
Terdapat perbedaan antara capaian pengetahuan dengan ungkapan pengetahuan. Jika menggunakan bahasa standar sains perihal itu disebut secara berurutan dengan context of discovery dan context of justification. Orang boleh saja menemukan formulasi ilmiahnya melalui mimpi, seperti rumus kimia cincin benzene oleh Kekule. Tetapi, betapapun ia dicapai melalui mimpi, untuk dianggap absah secara keilmuan ia harus dibuktikan secara demonstrasional atau eksperimental.
Begitupun dengan pengalaman mistis atau pengetahuan mistis. Bisa saja ia dicapai melalui penghayatan, mimpi, meditasi, dan hal senada lainnya, selama ia bisa dibuktikan secara diskursif atau eksperimental. Pada kenyataannya, terdapat dua modus pengetahuan, baik itu pengetahuan yang disebut ilmiah maupun nonrasional itu, yakni pengetahuan presensial dan pengetahuan representasional. Pada hal pertama, subjek dan objek tidak dimediasi melalui konsep, sedemikian sehingga pada hal pertama subjek dan objek pengetahuan tidak bisa dibedakan sama sekali. Dalam terminologi Husserlian hal ini sejajar dengan noetic dan intensional. Sementara itu, pada hal kedua, subjek dan objek dimediasi dengan konsep. Anda, untuk mengetahui kenikmatan seksual, jelas tidak paripurna hanya melaui konsep, Anda harus tercelup di dalamnya, noetic atau intensional.
Untuk merengkuh sesuatu yang disebut Tuhan/Tao/Yahwe/Brahman/Sang Hyang Widi/Gott/Godhead/Kosong Anda tidak bakal paripurna merengkuhnya jika sekadar melalui representasi atau konsep. Anda harus tercelup di dalamnya. Paparan James dalam buku ini dengan canggih menganalisis sekaligus mensintesiskan temuan-temuannya.
* * *
Betapapun gemilang capaian James, buku ini ditulis pada abad 20 awal. Data-data mutakhir yang belum dijumpai James bisa digunakan untuk mengkritik sekaligus mengukuhkan capaiannya. Misalnya, James sangat menekankan pengetahuan dan pengalaman mistis pada ranah pribadi. Itu menjadi masalah ketika hendak menelaah fenomena yang terjadi di lingkar tarekat atau ordo yang memiliki ritual bersama dalam konteks capaian ekstase spiritual. Atau, penekanan James mengabaikan bahwa perjumpaan dan pengetahuan akan Tuhan bisa direngkuh pada ranah sosial. Terlepas dari itu, tentu saja buku ini tetap tiada bandingannya, mengingat James sedari awal telah membangun suatu proto disiplin yang kelak disebut sebagai psikologi agama.
Sementara itu, untuk kualitas terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini, bisa dikatakan cukup bagus.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas komentar yang Anda berikan.